1.
Al-Aul
Al-Aul
artinya bertambah.
Dalam ilmu faraidh aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh
ahli waris lebih banyak daripada asal masalahnya, sehingga asal masalahnya
harus ditambah atau diubah.
Misalnya:
a. Ahli
waris terdiri dari suami dan 2 orang saudara perempuan kandung. Bagian suami ½
dan dua saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalahnya adalah 6.
Suami = 1/2 x 6 = 3
2 saudara perempuan kandung = 2/3 x 6 = 4 +
Jumlah bagian =
7
Asal masalahnya 6 sedangkan jumlah
bagian 7, ini berarti tidak cocok. Agar harta warisan dapat dibagikan kepada
ahli waris dengan adil, maka asal masalahnya dinaikkan menjadi 7, sehingga
penyelesaiannya.
Suami = 3/7 x harta
waisan = ...
2 saudara perempuan kandung = 4/7 x harta warisan = ...
b. Ahli
waris terdiri dari istri, ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Harta peninggalan
sebesar Rp. 81.000,-. Bagian masing-masing adalah istri 1/8, ayah 1/6, dan 2
anak perempuan 2/3. Asal masalahnya 24.
Cara menghitungnya adalah:
Istri = 1/8 x 24 = 3
Ayah = 1/6 x 24 =
4
Ibu =
1/6 x 24 = 4
2 anak perempuan = 2/3 x 24 = 16 +
Jumlah bagian = 27
Asal masalahnya 24 sedangkan jumlah
menjadi 27, sehingga cara perhitungan akhirnya menjadi:
Istri = 3/27 x Rp. 81.000,- = Rp.
9.000,-
Ayah = 4/27 x Rp. 81.000,- = Rp. 12.000,-
Ibu =
4/27 x Rp. 81.000,- = Rp. 12.000,-
2 anak perempuan = 16/27xRp. 81.000,- = Rp. 48.000,- +
Jumlah bagian =
Rp. 81.000,-
c. Ahli
waris terdiri dari istri, ibu, 2 saudara perempuan kandung dan seorang saudara
seibu. Harta peninggalan Rp. 45.000.000,-. Bagian istri 1/4, ibu, 1/6, 2
saudara perempuan kandung 2/3 dan seorang saudara seibu 1/6. Asal masalahnya
12.
Istri = 1/4 x 12 = 3
Ibu =
1/6 x 12 = 2
2 saudara perempuan kandung= 2/3 x
12 = 8
Seorang saudara seibu = 1/6 x 12 = 2 +
Jumlah = 15
Asal masalahnya 12, sedangkan
jumlah bagian 15, maka asal masalah dinaikkan menjadi 15.
Cara perhitungan akhirnya menjadi:
Istri = 3/15 x
45.000.000,- = 9.000.000,-
Ibu =
2/15 x 45.000.000,- = 6.000.000,-
2 saudara perempuan kandung = 8/15 x 45.000.000,- = 24.000.000,-
Seorang saudara seibu = 2/15 x 45.000.000,- = 6.000.000,-
+
Jumlah =
45.000.000,-
2.
Ar-Radd
Ar-Radd
(ar-raddu) yaitu: “Mengembalikan”. Menurut istilah faraidh ialah “Membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut masing-masing
bagiannya”.
Ar-Radd ini
dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih
ada sisa harta. Sedangkan ahli waris tidak ada ‘ashabah. Maka sisa harta
tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada, kecuali suami/istri.
Contoh
penyelesaian dengan radd:
Ahli waris terdiri dari seorang
anak perempuan dan ibu. Bagian anak perempuan ½ dan ibu 1/6. Asal masalahnya
berarti 6.
Anak perempuan = 1/2 x 6 =
3
Ibu =
1/6 x 6 = 1 +
Jumlah = 4
Asal masalah (KPT/KPK) adalah 6,
sedangkan jumlah bagian 4, maka penyelesaian dengan radd asal masalahnya
dikembalikan kepada 4. Sehingga cara penyelesaian akhirnya:
Anak perempuan = 3/4 x harta warisan = ...
Ibu =
1/4 x harta waisan = ...
Cara penyelesaian di atas adalah
apabila tidak ada suami atau istri. Apabila ada suami atau istri, cara
penyelesaiannya adalah sebagi berikut:
Seseorang meninggal dengan
meninggalkan harta sebesar Rp. 18.000.000,-. Ahli waris terdiri dari istri, dua
orang saudara seibu dan ibu. Bagian istri ¼, dua orang saudara seibu 1/3, dan
ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.
Istri = 1/4 x 12 =3
2 saudara seibu = 1/3 x 12 =
4
Ibu =
1/6 x 12 = 2 +
Jumlah = 9
Karena ada istri, maka sebelum sisa
harta warisan dibagikan, hak untuk istri diambil dulu dengan menggunakan asal
masalah sebagai pembagi.
Maka untuk istri = 3/12 x Rp. 18.000.000,- = Rp. 4.500.000,-
Sisa warisan setelah diambil istri
berarti:
Rp.18.000.000,-
- Rp. 4.500.000,- = Rp. 13.500.000,-
Dibagi untuk 2 orang saudara seibu
dan ibu, yaitu dengan cara bilangan pembaginya adalah jumlah perbandingan kedua
pihak ahli waris yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah:
2 saudara seibu = 4/6 x Rp. 13.500.000,- = Rp.
9.000.000,-
Ibu =
2/6 x Rp. 13.500.000,- = Rp. 4.500.000,- +
Jumlah =
Rp. 13.500.000,-
Maka perolehan akhir masing-masing
ahli waris adalah:
Istri = Rp.
4.500.000,-
2 saudara seibu = Rp.
9.000.000,-
Ibu =
Rp. 4.500.000,- +
Jumlah = Rp. 18.000.000,-
3.
Gharawain
Gharawain
yaitu dua yang terang, yaitu dua masalah
yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah:
Pertama,
pembagian warisan jika ahli warisnya: suami, ibu, dan bapak.
Kedua,
pembagian warisan jika ahli warisnya: istri, ibu,
dan bapak.
Dua masalah tersebut berasal dari
Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha.
Dua hal tersebut di atas dianggap sebagai masalah karena jika dibagi dengan
perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil daripada ibu. Untuk itu dipakai
pedoman perhitungan khusus sebagaimana di bawah ini:
a. Untuk
masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami ½, ibu 1/3 sisa (setelah
diambil suami) dan bapak ‘ashabah. Misalnya harta peninggalan Rp. 30.000.000,-.
Cara pembagiannya adalah sebagi berikut:
Suami = 1/2 x Rp. 30.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Sisa =
Rp. 15.000.000,-
Ibu =
1/3 x Rp. 15.000.000,- = Rp. 5.000.000,-
Bapak ‘ashabah =
Rp. 10.000.000,- +
Jumlah =
Rp. 30.000.000,-
b. Untuk
masalah kedua maka bagian masing-masing adalah istr ¼, iu 1/3 sisa (setelah
diambil hak istri) dan bapak ‘ashabah. Misalnya harta peninggalan Rp.
60.000.000,-. Cara pembagiannya adalah sebagai berikut:
Istri = 1/4 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Sisanya = Rp. 45.000.000,-
Ibu =
1/3 x Rp. 45.000.000,- = Rp.
15.000.000,-
Bapak ‘ashabah =
Rp. 30.000.000,- +
Jumlah =
Rp. 60.000.000,-
4.
Masalah
Musyarakah
Musayarakah
atau musyarikah artinya yang diserikatkan. Yaitu
jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris semestinya memperoleh warisan,
tetapi tidak memperolehnya, maka disyarikatkan kepada ahli waris lain yang
memperoleh bagian.
Masalah
musyarikah ini terjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara
seibu, dan saudara laki-laki sekandung. Jika dihitung menurut kaidah mawaris
yang umum, saudara laki-laki tidak mendapatkan warisan. Padahal saudara
laki-laki kandung lebih kuat daripada saudara seibu. Dapat dilihat dalam
pemagian di bawah ini:
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6
= 1/6 = 1
2 saudara seibu 1/3 = 2/6 = 2
Saudara laki-laki kandung ‘ashabah = 0 = tidak mendapatkan bagian.
Menurut Umar,
Utsman, dan zaid yang diikuti oleh Imam Tsauri, Syafi’i dan lain-lain,
pembagian seperti di atas tidak adil. Maka untuk pemecahannya saudara kandung
disyarikatkan dengan saudara seibu di dalam bagian yang 1/3 (diabgi dua untuk
dua orang saudara seibu dan saudara sekandung). Sehingga penyelesaiannya dapat
dilihat dalam pembagian di bawah ini:
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6
= 1/6 = 1
2 saudara seibu dan saudara
(laki-laki) sekandung 1/3 = 2/6 = 2
Jumlah =
6
Bagian saudaara
seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata, meskipun di antara mereka
ada ahli waris laki-laki maupun perempuan.
5.
Masalah
Akdariyah
Akdariyah
artinya mengeruhkan atau menyusahkan,
yaitu kakek menyusahkan saudara perempuan dalam pembagian warisan. Masalah ini
terjadi ketika ada orang yang meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang
terdiri dari: Suami, ibu, saudara perempuan kandung/sebapak, dan kakek.
Menurut kaidah
umum, pembagian mereka adalah:
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/3
= 2/6 = 2
Saudara perempuan 1/2 = 3/6 = 3
Kakek 1/6 = 1/6 = 1 +
Jumlah = 9
Asal masalah 6, dan dapat
diselesaikan dengan aul = 9.
Dalam pembagian
di atas, kakek memperoleh bagian yang lebih kecil daripada saudara perempuan.
Padahal kakek dan saudara perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam susunan
ahli waris. Bahkan kakek adalah garis laki-laki, yang biasanya memperoleh
bagian lebih besar daripada perempuan. Maka dalam masalah ini terdapat tiga
pendapat, yaitu:
a. Menurut
pendapat Abu Bakar ra., saudara perempuan kandung/sebapak mahjub oleh kakek.
Sehingga bagian yang diperoleh oleh masing-masing ahli waris adalah suami ¼,
ibu 1/3, kakek ‘ashabah, dan saudara perempuan terhijab hirman.
b. Menurut
pendapat Umar bin Khaththab dan Ibnu Mas’ud, untuk memecahkan masalah di atas,
maka bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian
ibu tidak lebih besar daripada bagian kakek. Sehingga bagian yang diperoleh
masing-masing ahli waris adalah suami ½, ibu 1/6, saudara perempuan ½, dan
kakek 1/6. Diselesaikan dengan aul.
c. Menurut
pendapat Zaid bin Tsabit, cara menyelesaikan masalah akdariyah tersebut dengan
cara menghimpun bagian saudara perempuan dan kakek, lalu membaginya dengan
prinsip laki-laki memperoleh dua kali bagian perempuan. Sebagaimana jatah
pembagian umum, saudara perempuan ½, dan kakek 1/6. ½ dan 1/6 digabungkan lalu
dibagikan untuk berdua dengan perbandingan pembagian saudara perempuan dan kakek
= 2 : 1.
6.
Hal-hal
yang Berkenaan dengan harta Peninggalan
Jika seseorang
muslim meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka sebelum harta
tersebut dibagikan kepada ahli waris terlebih dahulu ditunaikan
kewajiban-kewajiban almarhum/almarhumah, yang berkaitan dengan harta.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan harta tersebut antara lain:
a. Biaya
penyelenggaraan jenazah.
b. Pelunasan
utang, jika ada.
c. Pelaksanaan
wasiat.
7.
Penetapan
Ahli Waris yang Mendapat Bagian
Setelah
menyelesaikan persoalan-persoaln di atas, harus dilaksanakan “itsbatul waris” penetapan ahli waris
yang berhak menerima waris. Dalam itsabul waris ini harus dilakukan secara
cermat langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meneliti
siapa saja yang menjadi ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan
maupun karena sebab lainnya.
b. Meneliti
siapa saja yang terhalang menerima warisan. Misalnya, karena membunuh atau beda
agama.
c. Meneliti
ahli waris yang dapat terhijab.
d. Menetapkan
ahli waris yang berhak menerima warisan, setelah melakukan perhitungan yang
tepat tentang jumlah harta peninggalan almarhum/almarhumah.
8.
Cara
Pembagian Sisa Harta (‘Ashabah)
Yang dimaksud
dengan sisa harta warisan adalah:
a. Sisa
harta setelah semua ahli waris menerima bagiannya.
b. Sisa
harta karena yang meninggal tidak mempunyai ahli waris.
Di dalam menyelesaikan masalah di
atas, para ulama berbeda pendapat, antara lain dijelaskan di bawah ini:
c. Jumhur
sahabat, Imam Abu Khanifah, Imam Ahmad, dan ulama Syi’ah berpendapat:
1) Dibagikan
kembali kepada dzawil furudh selain suami/istri dengan jalan radd.
2) Bila
tidak ada ahli waris, maka harta warisan diberikan kepada dzawil arham.
3) Bila
dzawil arham pun tidak ada, maka peninggalan diserahkan ke baitul mal.
d. Imam
Malik, Imam Syafi’i, Al-Auza’i, dan lain-lain berpendapat bahwa sisa harta
warisan, baik setelah ahli waris mendapatka bagiannya maupun karena tidak ada
ahli waris tidak boleh diselesaikan dengan jalan radd maupun diserahkan kepada
dzawil arham, tetapi harus diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan umat
Islam.
9.
Bagian
Anak dalam Kandungan
Anak yang masih
dalam kandungan jika ditinggalkan ayahnya merupakan masalah yang belum dapat
dipastikan jika dikaitkan dengan masalah mawaris. Permasalahan-permasalahan
tersebut antara lain:
a. Apakah
janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekerabatan yang sah
dengan si mati, maka perlu diperhatikan tengggang waktu antara akad nikah
dengan usia kandungan. Jika usia kandungan lebih tua daripada usia akad nikah,
maka bayi tidak berhak memperoleh warisan.
b. Belum
bisa dipastikan jenis kelamin dan jumlah bayi dalam kandungan. Kemungkinan yang
bisa terjadi adalah:
1) Laki-laki;
seorang atau lebih.
2) Perempuan;
seorang atau lebih.
3) Laki-laki
dan perempuan.
4) Banci
dan lain-lain.
c. Belum
bisa dipastikan, apakah janin akan lahir dalam keadaan hidup atau mati.
d. Jika
warisan dibagikan, maka ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.
Misalnya, ada yang terhijab nuqashan maupun hirman. Atau mungkin melebihi yang
diperkirakan, misalnya, kalau bayi lahir meninggal.
Bayi yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai hak
warisan dari ayahnya yang meninggal.
Rasulullah saw. bersabda:
Ø¥ِØ°َا
اسْتَÙ‡َÙ„َّ الْÙ…َÙˆْÙ„ُÙˆْدُ ÙˆَرِØ«َ (رواه أصØاب السنن)
Artinya:
“Jika anak yang
dilahirkan berteriak, maka ia diberi warisan.” (HR.
Ashab Al-Usnan)
Ù„َا
ÙŠَرِØ«ُ الصَّبِÙŠُّ ØَتَّÙ‰ ÙŠَسْتَÙ‡ِÙ„َّ (رواه اØمد)
Artinya:
“Bayi dalam kandungan
tidak berhak mewarisi sehingga berteriak.” (HR.
Ahmad)
Jalan
keluar dalam masalah di atas adalah:
a. Para
ahli waris yang ada boleh mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari
kemungkinan-kemingkinan yang bisa terjadi.. kecuali ahli waris yang terhijab
hirman dengan lahirnya anak, tidak mengambilnya dahulu sampai ada kepastian
kelahiran bayi.
b. Apabila
harta warisan dapat dijaga dan pembagiannya tidak mendesak, maka pembagian
warisan ditunda sampai bayi lahir.
10.
Bagian
Orang yang Hilang
Yang dimaksud
hilang di sini adalah orang yang tidak lagi diketahui keberadaannya dalam
jangka waktu yang relatif lama. Tidak diketahui beritanya di mana tempat
tinggalnya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.
Orang yang
hilang tersebut sebagai muwarist maupun ahli waris, maka dapat dilaksanakan
sebagai berikut:
a. Apabila
kedudukannya sebagai muwarits.
1) Harta
orang yang hilang ditahan sampai ada kepastian keberadaannya, atau ada
kepastian hidup atau matinya.
2) Ditunggu
sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Abdul Hakam ditunggu sampai
batas usia lebih kurang 70 tahun.
b. Apabila
kedudukannya sebagai ahli waris.
Harta warisan dibagikan, dan ia
(orang yang hilang) diberikan bagian sebagaimana bagian semestinya. Jika ia
masih hidup dan datang, maka bagiannya itu diserahkan. Kalau ternyata sudah
meninggal, maka bagiannya diserahkan kepada ahli waris lain yang berhak.
11.
Bagian
Orang yang Meninggal Bersama-sama
Orang yang
meninggal dalam waktu bersamaan, baik itu karena kecelakaan; seperti tabrakan,
tenggelam, kebakaran, dan lain-lain, maupun peperangan, atau karena penyakit,
tidak saling waris-mewarisi meskipun ada hubungan kekerabatan yang dekat karena
pernikahan. Sebab adanya saling waris-mewarisi karena adanya dua pihak yang
berlainan, yakni al-muwarits (orang
yang mewariskan harta) sudah meninggal, sementara al-warits (orang yang mewarisi) masih dalam keadaan hidup.
Pendapat di atas
semula dipegang oleh Abu Bakar dan Umar, lalu diikuti oleh jumhur fuqaha.
Antara lain Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain.
Dengan demikian,
karena tidak saling mewarisi, maka harta peninggalan dibagikan kepada ahli
waris yang masih hidup. Misalnya; suami, istri, anak meninggal bersama-sama,
dan meninggalkan harta, maka harta mereka dibagikan kepada masing-masing ahli
warisnya yang masih hidup.
Demikian artikel mengenai PERMASALAHAN DALAM PEMBAGIAN
WARISAN, semoga bermanfaat buat shobat kholidintok.blogspot.com Shobat bisa
klik link di atas. Kritik dan saran dari shobat sangat diperlukan. Wassalamu’alaikum...
Komentar dan saran sangat kami butuhkan untuk meningkat kualitas blog kami
*Budayakan anti spam
Emoticon